Share
Sejak awal kemunculannya awal tahun 1990an, Punk di Bandung disemarakkan oleh band-band yang identik dengan Sex Pistols, Ramones, dan Exploited. Kemunculan band-band ini seiring dengan makin maraknya simbol-simbol punk yang diadopsi para punker Bandung. Lambang-lambang seperti huruf ‘A’ atau ‘NRQ’ yang merupakan simbol dari ideologi ‘anarchy’, atau tulisan ‘chaos’ tampak mendominasi seluruh atribut punk, mulai dari jaket kulit berspike, jins ketat dan boots, hingga rajah di seluruh badan. Semarak ini semakin dibuaskan oleh pemberitaan media yang selalau menganggap musik punk sebagai musik kesetaraan. Musik for you and me, di mana semua orang harus dapat menyanyikannya bersama-sama dan karenanya, musik punk rata-rata dikemas sangat sederhana. Tiga atau empat jurus, beres. Stereotip inilah yang kemudian berkembang pesat secara musikal. Yang lolos dari pemberitaan media mengenai punk adalah satu : tak digalinya konsep ‘chaos’ dan ‘anarchy’ itu sendiri yang seharusnya menjadi state of mind para punker. Melalui Grinding Punk Corporation, Mereka mencoba mendobrak paradigma itu. dan para pemerkasa Grinding Punk Corporation Adalah Butchex The Cruels yang baru saja memecat seluruh personilnya tahun 2000an ketika ia datang ke Studio Pieces dan mengadukan kekecewaaannya kepada Dani Jasad. Butchex melihat pola berpikir semua punker Bandung telah terbentuk oleh pemberitaan media massa yang cenderung status quo. Bahwa musik punk itu haus gini, yang gini loh yang musik punk, yang sederhana, tak lebih dari tiga atau empat jurus hingga orang-orang dapat dengan mudah memainkannya, kord-kord dan riff-riffnya juga tak njelimet hingga tak butuh energi banyak dalam menciptakan lagu dan memainkannya. Asal pesan dalam lirik sudah terpenuhi maka sudahlah, beres. Mindset itulah yang diciptakan media mengenai punk dan segera menjadi stereotip. Yang lalu cenderung dilupakan punker adalah esendi ideologi punk itu sendiri : ‘chaos’ dan ‘anarchy’. Bagi Butchex, ‘chaos’ dan ‘anarchy’ adalah sebuah kondisi tanpa aturan, di mana tak ada satupun bisa menguasai dan mengatur hidup individu. Individu berbebas berkehendak tanpa harus ada aturan-aturan yang mengekang hasrat mereka, apalagi dalam bermusik. Hasrat bermusik Butchex adalah memainkan musik ekstrim sekencang-kencangnya dan mengekspresikan dirinya sebebas-bebasnya melalui The Cruels. Kekecewaan Butchex berlipat-lipat ketika tak ada satu punker pun yang bisa mengejar hasrat musik yang Butchex impikan, juga ketika mereka lalu menggugat, “Naha punk teh kieu Butch? Jiga grindcore ieu mah?” Hingga saat itu yang selalu Butceh inginkan adalah menjawab dengan teriakan, “Punk mah kumaha aing atuh, anjing! Bebaskeun!” Namun yang lebih ia inginkan adalah membentuk sebuah band, bukan menjawab pertanyaan konyol itu. Dan kekecewaannya semakin berlipat ketika menerima kenyataan para punker yang ia temui tak bisa mengejar kekencangan musik ekstrim yang ia impikan.Maka alam curhatnya, Butchex mengajak Dani, Opik, dan Komenx semuanya adalah musisi death metal dan black metal untuk membantunya membentuk pola awal musik The Cruels. Konsepnya melenceng dari punk secara umum di Indonesia : punk attitude dengan ekspresi musik seekstrim mungkin. Rilisnya Hollow Horror oleh The Cruels merupakan sebuah tonggak baru dalam dinamika musik Ujungberung Rebels, terutama punk. Hollow Horror adalah sebuah terobosan baru dalam memainkan musik punk. Musiknya grinding yang rapat dengan ketukan hypercan ditingkahi lirik-lirik sangat kental pemberontakan yang dilafalkan dengan cara growling dan screaming. Tapi ini bukan grindcore. Ini jelas adalah punk. “Punk bukan cuma ‘dugtakdugtak’ atau musik tiga jurus beres, Man.. Punk itu pemberontakan! Termasuk memberontak ke pola-pola mainin musik punk yang udah mapan. Inilah punk kami! Tong maenkeun musik nu kitu-kitu wae, lah! Mainin sesuatu yang beda!” begitu seru Butchex. Hal yang juga senada dicetuskan Apuy, scenester The Black Evil Saraf Timur Squad dari Cicalengka, vokalis band Tikus Kampung, yang kemduian bersekutu dengan Butchex. Pertama kali mendengar Hollow Horror, Apuy merasa satu ekspresi dengan Butchex. Ia merasa sangat cocok dengan musik yang dimainkan The Cruels karena bandnya, Tikus Kampung memiankan musik yang kurang lebih berpola sama dengan Hollow Horror, juga berideologi sama dengan Butchex dalam memandang punk. Tikus Kampung dan The Cruels pun segera bersekutu membentuk sebuah kelompok band-band beraliran grinding-punk. Ujungberung dalam hal ini segera menjadi episentrum tempat kelompok yang kemudian perlahan menggasak jalanan itu. Butchex dan Apuy menamakan kelompok mereka Grinding Punk Corporation, sebuah kelompok yang terdiri dari band-band punk yang memainkan musik mereka dengan cara grinding. “Lain rek so’ eksklusif, misahkeun diri ti scene punk nu geus aya. Tapi, nya ieu urang-urang. Punk nu grinding. Punk nu tarik. Grinding Punk Corporation nyoba ngumpulkeun band-band nu sajenis, mere wadah keur berkarya babarengan” tandas Apuy. Yang kemduian Apuy rujuk sebagai “urang-urang’ adalah enam band grinding-punk : The Cruels, Tikus Kampung, Sedusa, Carnaval of Anaconda, Sick Man from Egypt, dan Pemberontak.Sebagai manifestasi pemberontakan mereka pada kaidah-kaidah punk yang sudah mapan, Grinding Punk Corporation menggelar sebuah gig yang menampilkan band-band punk yang khusus mengekspresikan musikalitas mereka dengan cara-cara yang grinding dan ekstrim. Sekitar dua puluh band grinding-punk menghajar venue Ultimus tahun 2005. Yang unik, Grinding Punk Corporation kemudian tak lantas membakukan diri sebagai status quo, sebuah organisasi, atau bahkan komunitas. Bahkan tak selintas pun sepertinya ada di kepala masing-masing mereka yang ada di dalam Grinding Punk Corporation. Karenanya kelompok ini tak punya markas, tempat nongkrong, base camp, atau hal fisik apapun yang menunjukkan mereka eksis. Namun demikian, secara intens mereka saling berkomunikasi, bertukar informasi melalui imel, atau sekedar smsan untuk saling bertemu. Siapapun yang tertarik kepada kelompok pemuja kebebasan ini silahkan bebaskan dirimu!
sumber : http://www.xtreme-zine.com/
Sejak awal kemunculannya awal tahun 1990an, Punk di Bandung disemarakkan oleh band-band yang identik dengan Sex Pistols, Ramones, dan Exploited. Kemunculan band-band ini seiring dengan makin maraknya simbol-simbol punk yang diadopsi para punker Bandung. Lambang-lambang seperti huruf ‘A’ atau ‘NRQ’ yang merupakan simbol dari ideologi ‘anarchy’, atau tulisan ‘chaos’ tampak mendominasi seluruh atribut punk, mulai dari jaket kulit berspike, jins ketat dan boots, hingga rajah di seluruh badan. Semarak ini semakin dibuaskan oleh pemberitaan media yang selalau menganggap musik punk sebagai musik kesetaraan. Musik for you and me, di mana semua orang harus dapat menyanyikannya bersama-sama dan karenanya, musik punk rata-rata dikemas sangat sederhana. Tiga atau empat jurus, beres. Stereotip inilah yang kemudian berkembang pesat secara musikal. Yang lolos dari pemberitaan media mengenai punk adalah satu : tak digalinya konsep ‘chaos’ dan ‘anarchy’ itu sendiri yang seharusnya menjadi state of mind para punker. Melalui Grinding Punk Corporation, Mereka mencoba mendobrak paradigma itu. dan para pemerkasa Grinding Punk Corporation Adalah Butchex The Cruels yang baru saja memecat seluruh personilnya tahun 2000an ketika ia datang ke Studio Pieces dan mengadukan kekecewaaannya kepada Dani Jasad. Butchex melihat pola berpikir semua punker Bandung telah terbentuk oleh pemberitaan media massa yang cenderung status quo. Bahwa musik punk itu haus gini, yang gini loh yang musik punk, yang sederhana, tak lebih dari tiga atau empat jurus hingga orang-orang dapat dengan mudah memainkannya, kord-kord dan riff-riffnya juga tak njelimet hingga tak butuh energi banyak dalam menciptakan lagu dan memainkannya. Asal pesan dalam lirik sudah terpenuhi maka sudahlah, beres. Mindset itulah yang diciptakan media mengenai punk dan segera menjadi stereotip. Yang lalu cenderung dilupakan punker adalah esendi ideologi punk itu sendiri : ‘chaos’ dan ‘anarchy’. Bagi Butchex, ‘chaos’ dan ‘anarchy’ adalah sebuah kondisi tanpa aturan, di mana tak ada satupun bisa menguasai dan mengatur hidup individu. Individu berbebas berkehendak tanpa harus ada aturan-aturan yang mengekang hasrat mereka, apalagi dalam bermusik. Hasrat bermusik Butchex adalah memainkan musik ekstrim sekencang-kencangnya dan mengekspresikan dirinya sebebas-bebasnya melalui The Cruels. Kekecewaan Butchex berlipat-lipat ketika tak ada satu punker pun yang bisa mengejar hasrat musik yang Butchex impikan, juga ketika mereka lalu menggugat, “Naha punk teh kieu Butch? Jiga grindcore ieu mah?” Hingga saat itu yang selalu Butceh inginkan adalah menjawab dengan teriakan, “Punk mah kumaha aing atuh, anjing! Bebaskeun!” Namun yang lebih ia inginkan adalah membentuk sebuah band, bukan menjawab pertanyaan konyol itu. Dan kekecewaannya semakin berlipat ketika menerima kenyataan para punker yang ia temui tak bisa mengejar kekencangan musik ekstrim yang ia impikan.Maka alam curhatnya, Butchex mengajak Dani, Opik, dan Komenx semuanya adalah musisi death metal dan black metal untuk membantunya membentuk pola awal musik The Cruels. Konsepnya melenceng dari punk secara umum di Indonesia : punk attitude dengan ekspresi musik seekstrim mungkin. Rilisnya Hollow Horror oleh The Cruels merupakan sebuah tonggak baru dalam dinamika musik Ujungberung Rebels, terutama punk. Hollow Horror adalah sebuah terobosan baru dalam memainkan musik punk. Musiknya grinding yang rapat dengan ketukan hypercan ditingkahi lirik-lirik sangat kental pemberontakan yang dilafalkan dengan cara growling dan screaming. Tapi ini bukan grindcore. Ini jelas adalah punk. “Punk bukan cuma ‘dugtakdugtak’ atau musik tiga jurus beres, Man.. Punk itu pemberontakan! Termasuk memberontak ke pola-pola mainin musik punk yang udah mapan. Inilah punk kami! Tong maenkeun musik nu kitu-kitu wae, lah! Mainin sesuatu yang beda!” begitu seru Butchex. Hal yang juga senada dicetuskan Apuy, scenester The Black Evil Saraf Timur Squad dari Cicalengka, vokalis band Tikus Kampung, yang kemduian bersekutu dengan Butchex. Pertama kali mendengar Hollow Horror, Apuy merasa satu ekspresi dengan Butchex. Ia merasa sangat cocok dengan musik yang dimainkan The Cruels karena bandnya, Tikus Kampung memiankan musik yang kurang lebih berpola sama dengan Hollow Horror, juga berideologi sama dengan Butchex dalam memandang punk. Tikus Kampung dan The Cruels pun segera bersekutu membentuk sebuah kelompok band-band beraliran grinding-punk. Ujungberung dalam hal ini segera menjadi episentrum tempat kelompok yang kemudian perlahan menggasak jalanan itu. Butchex dan Apuy menamakan kelompok mereka Grinding Punk Corporation, sebuah kelompok yang terdiri dari band-band punk yang memainkan musik mereka dengan cara grinding. “Lain rek so’ eksklusif, misahkeun diri ti scene punk nu geus aya. Tapi, nya ieu urang-urang. Punk nu grinding. Punk nu tarik. Grinding Punk Corporation nyoba ngumpulkeun band-band nu sajenis, mere wadah keur berkarya babarengan” tandas Apuy. Yang kemduian Apuy rujuk sebagai “urang-urang’ adalah enam band grinding-punk : The Cruels, Tikus Kampung, Sedusa, Carnaval of Anaconda, Sick Man from Egypt, dan Pemberontak.Sebagai manifestasi pemberontakan mereka pada kaidah-kaidah punk yang sudah mapan, Grinding Punk Corporation menggelar sebuah gig yang menampilkan band-band punk yang khusus mengekspresikan musikalitas mereka dengan cara-cara yang grinding dan ekstrim. Sekitar dua puluh band grinding-punk menghajar venue Ultimus tahun 2005. Yang unik, Grinding Punk Corporation kemudian tak lantas membakukan diri sebagai status quo, sebuah organisasi, atau bahkan komunitas. Bahkan tak selintas pun sepertinya ada di kepala masing-masing mereka yang ada di dalam Grinding Punk Corporation. Karenanya kelompok ini tak punya markas, tempat nongkrong, base camp, atau hal fisik apapun yang menunjukkan mereka eksis. Namun demikian, secara intens mereka saling berkomunikasi, bertukar informasi melalui imel, atau sekedar smsan untuk saling bertemu. Siapapun yang tertarik kepada kelompok pemuja kebebasan ini silahkan bebaskan dirimu!
sumber : http://www.xtreme-zine.com/